Jumat, 29 Maret 2024

Datiak.com

Berita Sumbar Terbaru Hari Ini dan Info Terkini

Kampanye, Iklan Versus Pendidikan Politik

Ilustrasi iklan kampanye politik. (Gambar: Ist)
253 pembaca

Tepat tanggal 26 bulan September, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) 2020 memasuki tahap kampanye. Artinya, akan ada “pertarungan” di ruang publik untuk merebut simpati masyarakat (pemilih). Kodisi ini akan berlangsung di 224 kabupaten, 37 kota dan 9 provinsi se-Indonesia, dalam dalam rentang 70 hari (26/9) sampai (5/12).

Namun, sejak belum dimulainya tahapan Pilkada, ruang publik kita sudah terlanjur dipenuhi dengan alat peraga dalam beragam bentuk dan ukuran yang berisi wajah, nama dan informasi terbatas bakal pasangan calon kepala daerah. Baik yang sudah mendaftar ke KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) maupun yang gagal mendaftar, karena alasan tidak jadi diusung partai politik atau tidak memenuhi syarat sebagai calon perseorangan (jalur independen).

Yang akan kita bahas dalam tulisan ini, bukan persoalan aspek legal atau aspek peran pemerintah dan penyelenggara terkait penggunaan ruang publik sebelum masa kampanye. Melainkan membahas dan menakar substansi penggunaan ruang publik oleh kontestan Pilkada dengan tujuan menarik perhatian dan simpati massa, untuk mencapai tujuan politik kelompok/orang tertentu.

Secara normatif, aktivitas “pemain politik” Pilkada di luar jadwal kampanye yang menggunakan ruang publik dengan memasang alat peraga, belum bisa diikat dengan klausul tentang kampanye. Karena, kampanye itu sesungguhnya dibatasi secara limitatif yakni berhubungan dengan kegiatan pendidikan politik/pemilih selama masa jadwal tahapan kampanye berlangsung dengan tujuan tertentu.

Lalu kegiatan apa yang sedang berlangsung?

Untuk melihat fenomena ini, tidak salah jika kita menggunakan istilah yang lazim digunakan di lapangan ekonomi yakni terkait dengan konsep marketing yang disebut “Iklan”. Meskipun, istilah marketing politik itu sendiri, sebenarnya sudah ada dan menjadi objek studi tersendiri yang sejarah aktivitasnya sudah berlangsung lebih dari dua abad yang lalu. Hal ini seperti ditulis Prof. Firmanzah, dalam bukunya yang berjudul “Marketing Politik” (2007).

Dalam buku itu, Charles menuliskan bahwa Barker, seorang praktisi iklan, tahun 1983 sudah mempraktikkan dengan menciptakan “iklan politik”. Bahkan, beliau menyakini bahwa Revolusi Perancis tahun 1789 sudah menerapkan konsep iklan politik ini dengan menggunakan jargon liberte, egalite dan fraternite.

Jika tema “iklan” ini bisa diterima maka, harus dipahami bahwa konsep iklan dalam lapangan marketing politik berbeda dengan marketing di lapangan ekonomi/bisnis. Paling tidak ada tiga spesifikasi iklan politik. Pertama, dalam iklan politik yang ditawarkan bukan barang atau jasa melainkan ide/gagasan dan program (pembangunan dan kesejahtaraan).

Kedua, fokus iklan politik adalah target positioning dengan menawarkan sesuatu yang logis, terukur dan aplikatif, untuk rentang lima tahun jabatan politik. Sehingga, target iklan secara perseptif bisa diyakinkan dan terbangunnya kesan positif.

Sedangkan poin ketiga, target politik diposisikan sebagai subyek penentu/utama, sehingga “produk” yang ditawarkan harus berangkat dari persoalan riil mereka, serta komitmen untuk menyediakan ruang koneksi/aspirasi untuk jangka panjang.

Jika konsep di atas kita gunakan sebagai tolak ukur, maka alat peraga yang sudah menyesakkan ruang publik kita seperti sekarang ini, bukanlah iklan politik melainkan hanya sekadar publikasi gambar, nama dan informasi tertentu yang minus ide, gagasan dan program. Dan, bukankah iklan politik seharus koherens dengan konsep pendidikan politik, dan pendidikan pemilih yang sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kita?

Adakah iklan yang mendidik?

Kalau kita mau konsisten dengan ide awal tentang pentingnya kepala daerah dipilih secara langsung, maka seharusnya kita juga konsisten untuk menggunakan ruang kontestasi ini, dengan cara-cara yang sejalan dengan target tumbuh-kembangnya kesadaran politik–demokrasi warga. Yakni peningkatan pemahaman dan partisipasi publik, serta peningkatan kemandirian dan taraf hidup masyarakat. Hal inilah yang tersirat dan tersurat diamanahkan peraturan perundang-undangan Pilkada-Politik.

Meskipun alat peraga yang ada mungkin, tidak sepenuhnya salah jika ditilik dari sisi normatif. Namun, sudah seharusnya praktik politik dan demokrasi kita meningkat dari waktu ke waktu, khususnya dalam menerapkan iklan politik sebagai bagian dari pendidikan politik dan pemilih. Di sinilah dibutuhkan daya kritis publik untuk menuntut kepada kontestan agar diberikan “produk” yang layak yakni berupa ide, gagasan dan program, bukan hanya sekadar gambar orang dan nama.

Secara skeptis, alat peraga yang hanya berisi gambar, nama dan informasi terbatas tersebut, bisa dipandang sebagai pembodohan dan punya implikasi pada tumbuhnya “benalu” dalam pergulatan demokrasi di daerah. Dengan argumen rasional, ketika publik tidak distimulus dan digiring untuk berdebat secara substantif tentang gagasan dan program, maka publik akan berdebat dalam ruang primordialistik dan pragmatis.

Celakanya, jika spirit primordialistik dan pragmatis mengisi ruang diskusi Pilkada, maka menjadi logis bahwa money politic, black campaign dan tema SARA menjadi bumbu dalam hidangan pesta demokrasi kita. Lihat saja bagaimana masih masifnya terdengar diskusi di masyarakat kita dalam setiap Pilkada bicara tentang menerima apa (uang/materi), dari kampong mana (dapil) dan isu primitive lain.

Memang sarana pendidikan politik tidak hanya menggunakan alat peraga saja. Namun, ia masih menjadi alat utama iklan politik kita, sehingga tampilannya bisa menjadi tolak ukur bahwa publik sedang ditarget dengan cara-cara yang belum mendidik dan belum substantif. Publik berhak tahu tentang “isi kepala” calon kepala daerah, berhak atau kandidat akan melakukan apa lima tahun ke depan, dan bagaimana cara melakukannya.

Menu utama iklan politik tentu beranjak dari visi dan misi yang menjadi salah satu syarat bakal calon bisa mendaftar ke KPU. Karenanya ruang iklan politik (bagian dari kampanye) dalam bentuk alat peraga adalah manifestasi dari visi misi. Selebihnya adalah menggunakan variasi bentuk kampanye lain, untuk mengolaborasi gagasan dan program tersebut. Baik dalam forum tatap muka, pertemuan terbatas dan rapat umum, bahkan juga terimplemetasi dalam kegiatan formal lain selama masa kampanye.

Selebihnya, tidak ada pilihan kecuali seluruh kontestan yang akan bertarung merebut suara pemilih 9 Desember 2020 ini, untuk memberikan pendidikan yang benar-benar berdampak/bernilai tambah bagi tumbuh kembangnya demokrasi di daerah dan peningkatan taraf hidup masyarakat dengan cara menggunakan waktu 70 hari masa kampanye dengan sebaik-baiknya.

Desain APK yang beberapa waktu lagi, musti diserahkan ke KPU dan dicetak serta dipasang diharapkan berisi “menu” yang menyehatkan, sehingga masyarakat tidak perlu berdebat hal yang tak produktif. Demikianlah pendidikan politik warga seharusnya dibiasakan terutama selama masa kampanye yang notabene adalah masa pencerdasan, apa lagi dalam kondisi pandemi. Jadilah teladan! Selamat berkontestasi! (*)


Artikel opini ini ditulis oleh Zulnaidi, SH (Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Padang Pariaman)


zulnaidi kontributor datiak
Adellar Prasetya
Zulnaidi, SH
Penulis